Total Pageviews

Popular Posts

Stasiun Surabaya Kota (1878)
Stasiun Surabaya Kota (SB) yang populer dengan nama Stasiun Semut terletak di Bongkaran, Pabean Cantikan, Surabaya. Letaknya sebelah utara Stasiun Surabaya Gubeng dan juga merupakan stasiun tujuan terakhir di kota Surabaya dari jalur kereta api selatan pulau Jawa yang menghubungkan Surabaya dengan Yogyakarta dan Bandung serta Jakarta. Stasiun lain yang juga penting di Surabaya adalah Stasiun Pasar Turi yang menghubungkan Surabaya dengan Semarang. Baru dalam masa kemerdekaan, Jawatan Kereta Api mengadakan layanan kereta api antara Jakarta dan Surabaya Pasar Turi melalui Semarang.
Berdasarkan sejarahnya, Stasiun Surabaya Kota dibangun ketika jalur kereta api Surabaya-Malang dan Pasuruan mulai dirintis sekitar tahun 1870. Tujuannya untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan dari daerah pedalaman Jatim, khususnya dariMalang , ke Pelabuhan Tanjung Perak yang juga mulai dibangun sekitar tahun itu. Gedung ini diresmikan pada tanggal 16 Mei 1878. Dengan meningkatnya penggunaan kereta api, pada tanggal 11 Nopember 1911, bangunan stasiun ini mengalami perluasan hingga ke bentuknya yang sekarang ini.

Stasiun Kereta Api Tertua di Indonesia !

10. Stasiun Ijo (1880)
Stasiun Ijo (IJ) adalah stasiun kereta api yang terletak di sebelah barat Stasiun Gombong. Secara administratif, stasiun ini berada di Desa Bumiagung, Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen. Selain sebagai stasiun persilangan, fungsi lainnya adalah sebagai pengontrol terowongan jalur rel (disebut Terowongan Ijo) yang berada di sisi timur stasiun ini. Pengelolaan stasiun yang terletak pada ketinggian +25 m dpl ini berada di bawah Daerah Operasi 5 Purwokerto. Stasiun yang dibangun pada pertengahan tahun 1880-an ini jarang disinggahi oleh kereta api. Stasiun berperon sisi ini memiliki tiga jalur rel.

Malang - Bagi Anda warga Malang yang suka berpergian ke Bandung dengan menggunakan jasa kereta api. Kini tidak perlu bingung lagi. Karena, PT Kereta Api akan meluncurkan KA Malabar tujuan Malang-Bandung pada, Jumat (29/4/2010) sore.

Wakil Kepala Stasiun Besar Malang, Irfan Karsidi, mengatakan dari delapan gerbong yang diberangkatkan terdiri dari dua gerbong eksekutif, tiga gerbong bisnis, dan dua gerbong ekonomi. Sisanya, untuk satu gerbong dapur dan satu gerbong bagasi.

Hingga pukul 10.00 WIB, tiket sudah terjual sebanyak 69 untuk tiket eksekutif, 57 untuk tiket bisnis dan 65 untuk tiket ekonomi. Sementara jumlah tempat duduk untuk eksekutif sebanyak 52 bangku, bisnis sebanyak 64 bangku dan 106 bangku untuk satu gerbong ekonomi.

"Harga tiket masih promo untuk eksekutif sebesar Rp 200 ribu, bisnis sebesar Rp 130 ribu, dan ekonomi sebesar Rp 80 ribu," ujar Irfan, saat ditemui detiksurabaya.com di Stasiun Besar Malang Jalan Trunojoyo.

Rencananya, lanjut Irfan, KA Malabar ini akan diberangkatkan oleh Direktur Operasional DAOPS VIII Surabaya Bambang Irawan pada pukul 15.30 WIB. Kereta ini akan melalui jalur selatan dan dijadwalkan tiba di Bandung pada Sabtu (1/5/2010), pukul 08.37 WIB.

Melihat animo masyarakat dengan jumlah pembelian tiket, maka dapat dikatakan KA Malabar akan menjadi salah satu angkutan pilihan bagi masyarakat yang hendak berkunjung ke Bandung atau sebaliknya.

Irfan menambahkan, pihaknya menyakini jumlah penumpang akan terus bertambah, karena jadwal keberangkatan kereta api juga masih sore nanti.

"Jumlah pembelian tiket pasti akan bertambah, data yang ada baru sampai pukul 10 pagi tadi," tegasnya. Kini persiapan untuk keberangkatan KA Malabar telah dilakukan di Stasiun Besar Malang dengan membersihkan gerbong KA.

Kereta Api Parahyangan sudah selesai. Tamat riwayatnya pada pekan ini. Menjelang ajalnya, pencinta kereta ramai-ramai naik dari Bandung ke Jakarta. Namun, jangan terjebak pada ”romantika” belaka karena sekarang saat terbaik untuk berefleksi. Ada apa dengan kereta api dan transportasi massal? 
Salah satu alasan terkuat penutupan layanan kereta itu adalah KA Parahyangan merugi. KA Parahyangan merugi Rp 36 miliar per tahun.
Di tengah resistensi terhadap penutupan Parahyangan, Taufik Hidayat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) justru berani ”melawan arus”.
Menurut Taufik, ”Tutup kalau merugi. Pikirkan juga sisi komersial kereta api yang harus dijaga untuk keberlangsungan kereta api.”
Taufik menjelaskan, bila keuangan Parahyangan yang ”merah” atau bahkan ”merah membara” dibiarkan, malah mengancam keseluruhan hidup PT Kereta Api (PT KA). Alhasil, mempertahankan Parahyangan hanya memperkeruh kondisi dan masa depan perkeretaapian kita.
Memang terkesan PT Kereta Api hanya menimbang sisi bisnis saat menutup Parahyangan. Namun, ingat, pergeseran PT KA dari pelayan publik ke perusahaan profit merupakan kehendak pemerintah, yang mengubah menjadi perusahaan perseroan.
Jika pemerintah serius menangani perkeretaapian, mengapa tidak membentuk Kementerian Perkeretaapian. Toh, India dan China, dengan Menteri Kereta Api-nya, berhasil membangun puluhan ribu kilometer jalur rel. Tanpa liberalisasi perkeretaapian, dua negara itu pun berhasil.
Pemicu awal kematian KA Parahyangan adalah beroperasinya Jalan Tol Cikampek-Padalarang penghubung Jakarta dan Bandung, tahun 2005. Melalui jalan tol, waktu tempuh dua kota itu (180 kilometer) terpangkas dari 4-5 jam menjadi 2-2,5 jam.
Kalah kompetisi
Daya saing KA Parahyangan, yang menembus Jakarta-Bandung dalam tiga jam, pun melemah. Parahyangan makin ”terpukul” saat Kementerian Perhubungan mengizinkan lebih banyak travel, tidak lagi hanya travel ”4848”.
Pertanyaannya, mengapa travel? Tidakkah lebih baik mengandalkan bus daripada travel untuk mengurangi macet dan emisi buang? Bila travel boleh berangkat dari Jalan Sudirman, Jakarta, mengapa bus tidak? Di kota-kota besar dunia, seperti Tokyo, Kuala Lumpur, dan Stockholm, bus juga berangkat dari tengah kota.
Tentu sah-sah saja ada kompetisi antara kereta dan travel. Kompetisi adalah sebuah kewajaran. Harus diakui, travel Jakarta-Bandung memudahkan konsumen di Depok, Bintaro, atau Rawamangun yang jauh dari Stasiun Gambir.
Saat pemerintah membiarkan kompetisi terbuka antara kereta dan travel, itu sama saja dengan menunjukkan ketidakadilan dan ketidakberpihakan. Atau memang tidak ada arah dalam pembangunan transportasi massal?
Ketidakadilan pertama adalah membiarkan kereta menggunakan bahan bakar minyak tarif industri, sedangkan angkutan darat (travel) memakai BBM bersubsidi. Jika ingin tiket kereta lebih murah sehingga rakyat tertarik, mengapa solar kereta tak disubsidi?
”Matinya Parahyangan menunjukkan pemerintah omong kosong dalam mewujudkan angkutan massal yang efisien dan ramah lingkungan. Dengan kebijakan yang tak protransportasi massal, Parahyangan seolah dimatikan perlahan-lahan,” kata ahli transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno.
Jika direnungkan, kematian KA Parahyangan mungkin juga disumbang
oleh buruknya sistem transfer antartransportasi massal di negara ini.
Bila travel memanjakan penumpang dengan perjalanan dari titik ke titik, sebaliknya penumpang KA Parahyangan direpotkan saat harus berpindah moda.
Misalnya, Anda mau ke Bandung naik KA Parahyangan dari Kalibata, bila naik kereta ekonomi, Anda harus turun di Stasiun Gondangdia, naik bajaj ke Stasiun Gambir, baru naik KA Parahyangan ke Bandung.
Setibanya di Bandung, Anda masih harus berpikir keras sebab tak mudah, misalnya, untuk menuju Jalan Hegarmanah. Di Stasiun Bandung tak tersedia transportasi massal seperti jaringan bus rapid transit yang andal.
Alhasil, penumpang harus naik taksi, yang parahnya tidak semua taksi di Bandung resmi. Ada pula yang menyebut dirinya taksi, tetapi ternyata minibus tanpa argometer. Tak jarang pula penumpang dari Stasiun KA Bandung harus membayar tarif taksi hingga Rp 50.000, yang ironisnya lebih mahal dari tarif kereta itu.
Sebenarnya tak perlu mengambil contoh terlalu jauh. Penempatan halte busway Gambir I yang jauh di sisi utara Stasiun Gambir saja telah menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat pengguna transportasi massal.
Apa susahnya membangun halte busway sejajar sisi timur Stasiun Gambir? Arahkan busway masuk ke areal Stasiun Gambir supaya penumpang kereta langsung naik busway.
Kadang-kadang kita jadi bertanya-tanya. Apakah pemerintah tak punya hati, melihat rakyatnya berjalan kaki sambil memanggul tas? Mengapa di Stasiun Gambir, misalnya, lokasi parkir mobil paling dekat pintu stasiun, sebaliknya Bus Damri diparkir jauh?
Begitu KA Parahyangan ditutup, pemerintah malah menawarkan kepada investor swasta untuk menjalankan kereta itu. Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007 memang memperbolehkan investor swasta untuk menjadi operator.
Pertanyaannya, mungkinkah ada investor swasta yang mau menjalankan kereta api di tengah kebijakan-kebijakan yang lebih ramah bagi kendaraan pribadi?
Belum lagi ada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 219 Tahun 2010, yang intinya ”menyerahkan” prasarana (rel, stasiun, fasilitas operasi) kepada PT KA.
Maka, jangan-jangan, bila menjalankan KA Parahyangan, investor swasta selalu ”dikalahkan” oleh perjalanan Argo Gede.
Sebagai manusia, bernostalgia mengenang masa lalu, meratapi ditutupnya Parahyangan, memang tidak dilarang. Apalagi, dulu, antrean panjang di loket KA Parahyangan menjadi pemandangan setiap akhir pekan.

Sangat boleh jadi, jika Tol Cikampek-Palimanan selesai, KA Argo Jati Jakarta-Cirebon akan ditutup. Demikian juga jika Tol Ciawi-Sukabumi selesai, KA Bogor-Sukabumi pun mungkin ditutup.

Salah satu kiprah MPKAS (Masyarakat Peduli Kereta Api Sumbar) yang unik dan patut diberi acungan jempol adalah kisah kerjasama mereka dengan PT KAI  dalam proses  ”pemulangan” lok uap E1060 buatan tahu 1966 yang berhasil diminta dan dibawa pulang dari Ambarawa dan dibawa kembali ke Sumatera Barat, ke tempat asal dia bertugas dulu.
Lok ini menempuh perjalanan panjang dibawa dengan trailer dari Ambarawa, meliwati jalan pantura, jalan tol Jakarta Cikampek, masuk ke tol kota Jakarta, naik kapal pengangkut ke Teluk Bayur, dan dibawa lagi dengan trailer ke Muara Kelaban. Di Muara Kelaban dia baru dipindahkan ke rel, dan menempuh perjalanan ke Sawahlunto yang dulu sudah sering dia lintasi.
Ini suatu prestasi yang dilandasi dengan kerja keras dan sungguh-sungguh dari para penggiat MPKAS. Lok ini diniatkan untuk menjadi ikon wisata kereta api Sumbar nantinya. Dia akan didandani,  baik eksterior, interior  ataupun jeroannya karena akan digunakan secara terbatas sesuai dengan sisa kemampuannya. Dikhabarkan bahwa dia akan melayani wisata kereta api Sawahlunto-Silungkang saja.
Dia dinobatkan dengan nama panggilan Mak Itam. Ini adalah nama nostalgia. Zaman dulu (jadul) kalau ada orang yang badannya pegal-pegal akan disarankan temannya untuk berurut (pijet bahasa di Jawanya) ke tukang urut terkenal “Mak Itam”. Kata si teman kalau berurut ke Mak Itam semua pegal-pegal pasti hilang. Ya, pasti hilang bersama hilangnya nyawa yang dipijat yang berbaring di rel yang akan dilaluinya nya. Ini lelucon kuno “jadul” yang tentunya tidak akan dimengerti oleh generasi masa kini.
Tapi ada lagi kisah nostalgia yang lain kalau melihat kereta api yang ditarik lok uap mendaki di lembah Anai dengan jalan yang berkelok-kelok itu . Lok uap yang ngos-ngosan menarik rangkaian gerbong itu mengeluarkan bunyi peluitnya yang sangat khas. Sekali-sekali di awal belokan peluitnya akan melengking mengingatkan orang yang kemungkinan berjalan diatas rel dimukanyanya dibalik tikungan yang tentunya tidak tampak oleh sang masinis.
Anak-anak zaman dulu sangat hapal dengan bunyi yang khas dan terkait dengan beban kehidupan ini. Bagi yang tua-tua tentu ingat bunyinya. Yang muda ingin tahu ? Bunyi Mak Itam dan teman-temannya dulu itu disertai lengkingan peluitnya kalau masuk ke belokan adalah seperti ini : ” Shuuu…shah, shuuu..shah……, shuuu..shah……, shuuu..shah……, cari duit, duiiiiiiiiiiiiiit………”
Yah, ternyata dari zaman penjajahan sampai sekarang kondisi ekonomi masyarakat sama saja : alangkah susahnya mencari duit sebagaimana akan diingatkan kembali oleh Mak Itam nanti. Nggak percaya ? Tunggu saja nanti Mak Itam berjalan terseok seok diatas rel bergigi sewaktu masuk ke jalan yang berbelok.
Dengan “hidup kembali”nya Mak Itam, jokes ini pasti akan hidup pula kembali, termasuk tentang Mak Itam yang tukang urut tadi. Ini namanya “revitalisasi” jokes.[eb]

Kereta api ekonomi adalah kelas kereta penumpang dibawah kelas bisnis. Sama halnya dengan kereta kelas bisnis, kereta ini tidak dilengkapi dengan Air Conditioner (AC). Satu gerbong kereta penumpang ekonomi berkapasitas 106 orang. Kereta ini menjadi idaman para penumpang pasa saat hari raya ataupun hari libur. Walapupun dalam setiap perjalanan, kereta ini harus berhenti untuk mengalah dengan kereta api kelas atasnya. Harga tiket kereta kelas ekonomi pun sangat terjangkau.
Format penomoran untuk kereta kelas ekonomi yaitu K3 - xx (tahun pembuatan) x (jenis bogie) xx (nomor urut). Misalnya : K3 07525 artinya gerbong kelas 3 (ekonomi) yang mulai dinas tahun 2007 dengan jenis bogie '5' urutan ke 25 ditambah abjad yang artinya kereta itu milik dipo tersebut. Misalnya K3 07525 SMC, artinya kereta itu milik dipo Semarang Poncol.

Pada tanggal 21 Mei 1997 dioperasikan pertama kalinya KA Sancaka untuk pemerjalan koridor Yogyakarta – Surabaya. Perjalanan sejauh 311 Km dari Yogyakarta – Surabaya ditempuh dalam waktu kurang dari 5 jam.

 
  




Rangkaian KA Sancaka memiliki kapasitas sebanyak 496 tempat duduk dan menawarkan layanan untuk pemerjalan kelas eksekutif dan bisnis. Sancaka diambil dari nama seekor ular naga sakti yang siap melindungi.


Guna memenuhi permintaan pelanggan sejak tanggal 1 Desember 2002 diluncurkan KA Sancaka II yang menawarkan alternative perjalanan pada pagi hari dari Yogyakarta – Surabaya dan sore atau malam hari dari arah sebaliknya (berkebalikan dengan perjalanan yang ditawarkan oleh Sancaka I.