Total Pageviews

Popular Posts

Malang - Bagi Anda warga Malang yang suka berpergian ke Bandung dengan menggunakan jasa kereta api. Kini tidak perlu bingung lagi. Karena, PT Kereta Api akan meluncurkan KA Malabar tujuan Malang-Bandung pada, Jumat (29/4/2010) sore.

Wakil Kepala Stasiun Besar Malang, Irfan Karsidi, mengatakan dari delapan gerbong yang diberangkatkan terdiri dari dua gerbong eksekutif, tiga gerbong bisnis, dan dua gerbong ekonomi. Sisanya, untuk satu gerbong dapur dan satu gerbong bagasi.

Hingga pukul 10.00 WIB, tiket sudah terjual sebanyak 69 untuk tiket eksekutif, 57 untuk tiket bisnis dan 65 untuk tiket ekonomi. Sementara jumlah tempat duduk untuk eksekutif sebanyak 52 bangku, bisnis sebanyak 64 bangku dan 106 bangku untuk satu gerbong ekonomi.

"Harga tiket masih promo untuk eksekutif sebesar Rp 200 ribu, bisnis sebesar Rp 130 ribu, dan ekonomi sebesar Rp 80 ribu," ujar Irfan, saat ditemui detiksurabaya.com di Stasiun Besar Malang Jalan Trunojoyo.

Rencananya, lanjut Irfan, KA Malabar ini akan diberangkatkan oleh Direktur Operasional DAOPS VIII Surabaya Bambang Irawan pada pukul 15.30 WIB. Kereta ini akan melalui jalur selatan dan dijadwalkan tiba di Bandung pada Sabtu (1/5/2010), pukul 08.37 WIB.

Melihat animo masyarakat dengan jumlah pembelian tiket, maka dapat dikatakan KA Malabar akan menjadi salah satu angkutan pilihan bagi masyarakat yang hendak berkunjung ke Bandung atau sebaliknya.

Irfan menambahkan, pihaknya menyakini jumlah penumpang akan terus bertambah, karena jadwal keberangkatan kereta api juga masih sore nanti.

"Jumlah pembelian tiket pasti akan bertambah, data yang ada baru sampai pukul 10 pagi tadi," tegasnya. Kini persiapan untuk keberangkatan KA Malabar telah dilakukan di Stasiun Besar Malang dengan membersihkan gerbong KA.

Kereta Api Parahyangan sudah selesai. Tamat riwayatnya pada pekan ini. Menjelang ajalnya, pencinta kereta ramai-ramai naik dari Bandung ke Jakarta. Namun, jangan terjebak pada ”romantika” belaka karena sekarang saat terbaik untuk berefleksi. Ada apa dengan kereta api dan transportasi massal? 
Salah satu alasan terkuat penutupan layanan kereta itu adalah KA Parahyangan merugi. KA Parahyangan merugi Rp 36 miliar per tahun.
Di tengah resistensi terhadap penutupan Parahyangan, Taufik Hidayat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) justru berani ”melawan arus”.
Menurut Taufik, ”Tutup kalau merugi. Pikirkan juga sisi komersial kereta api yang harus dijaga untuk keberlangsungan kereta api.”
Taufik menjelaskan, bila keuangan Parahyangan yang ”merah” atau bahkan ”merah membara” dibiarkan, malah mengancam keseluruhan hidup PT Kereta Api (PT KA). Alhasil, mempertahankan Parahyangan hanya memperkeruh kondisi dan masa depan perkeretaapian kita.
Memang terkesan PT Kereta Api hanya menimbang sisi bisnis saat menutup Parahyangan. Namun, ingat, pergeseran PT KA dari pelayan publik ke perusahaan profit merupakan kehendak pemerintah, yang mengubah menjadi perusahaan perseroan.
Jika pemerintah serius menangani perkeretaapian, mengapa tidak membentuk Kementerian Perkeretaapian. Toh, India dan China, dengan Menteri Kereta Api-nya, berhasil membangun puluhan ribu kilometer jalur rel. Tanpa liberalisasi perkeretaapian, dua negara itu pun berhasil.
Pemicu awal kematian KA Parahyangan adalah beroperasinya Jalan Tol Cikampek-Padalarang penghubung Jakarta dan Bandung, tahun 2005. Melalui jalan tol, waktu tempuh dua kota itu (180 kilometer) terpangkas dari 4-5 jam menjadi 2-2,5 jam.
Kalah kompetisi
Daya saing KA Parahyangan, yang menembus Jakarta-Bandung dalam tiga jam, pun melemah. Parahyangan makin ”terpukul” saat Kementerian Perhubungan mengizinkan lebih banyak travel, tidak lagi hanya travel ”4848”.
Pertanyaannya, mengapa travel? Tidakkah lebih baik mengandalkan bus daripada travel untuk mengurangi macet dan emisi buang? Bila travel boleh berangkat dari Jalan Sudirman, Jakarta, mengapa bus tidak? Di kota-kota besar dunia, seperti Tokyo, Kuala Lumpur, dan Stockholm, bus juga berangkat dari tengah kota.
Tentu sah-sah saja ada kompetisi antara kereta dan travel. Kompetisi adalah sebuah kewajaran. Harus diakui, travel Jakarta-Bandung memudahkan konsumen di Depok, Bintaro, atau Rawamangun yang jauh dari Stasiun Gambir.
Saat pemerintah membiarkan kompetisi terbuka antara kereta dan travel, itu sama saja dengan menunjukkan ketidakadilan dan ketidakberpihakan. Atau memang tidak ada arah dalam pembangunan transportasi massal?
Ketidakadilan pertama adalah membiarkan kereta menggunakan bahan bakar minyak tarif industri, sedangkan angkutan darat (travel) memakai BBM bersubsidi. Jika ingin tiket kereta lebih murah sehingga rakyat tertarik, mengapa solar kereta tak disubsidi?
”Matinya Parahyangan menunjukkan pemerintah omong kosong dalam mewujudkan angkutan massal yang efisien dan ramah lingkungan. Dengan kebijakan yang tak protransportasi massal, Parahyangan seolah dimatikan perlahan-lahan,” kata ahli transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno.
Jika direnungkan, kematian KA Parahyangan mungkin juga disumbang
oleh buruknya sistem transfer antartransportasi massal di negara ini.
Bila travel memanjakan penumpang dengan perjalanan dari titik ke titik, sebaliknya penumpang KA Parahyangan direpotkan saat harus berpindah moda.
Misalnya, Anda mau ke Bandung naik KA Parahyangan dari Kalibata, bila naik kereta ekonomi, Anda harus turun di Stasiun Gondangdia, naik bajaj ke Stasiun Gambir, baru naik KA Parahyangan ke Bandung.
Setibanya di Bandung, Anda masih harus berpikir keras sebab tak mudah, misalnya, untuk menuju Jalan Hegarmanah. Di Stasiun Bandung tak tersedia transportasi massal seperti jaringan bus rapid transit yang andal.
Alhasil, penumpang harus naik taksi, yang parahnya tidak semua taksi di Bandung resmi. Ada pula yang menyebut dirinya taksi, tetapi ternyata minibus tanpa argometer. Tak jarang pula penumpang dari Stasiun KA Bandung harus membayar tarif taksi hingga Rp 50.000, yang ironisnya lebih mahal dari tarif kereta itu.
Sebenarnya tak perlu mengambil contoh terlalu jauh. Penempatan halte busway Gambir I yang jauh di sisi utara Stasiun Gambir saja telah menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat pengguna transportasi massal.
Apa susahnya membangun halte busway sejajar sisi timur Stasiun Gambir? Arahkan busway masuk ke areal Stasiun Gambir supaya penumpang kereta langsung naik busway.
Kadang-kadang kita jadi bertanya-tanya. Apakah pemerintah tak punya hati, melihat rakyatnya berjalan kaki sambil memanggul tas? Mengapa di Stasiun Gambir, misalnya, lokasi parkir mobil paling dekat pintu stasiun, sebaliknya Bus Damri diparkir jauh?
Begitu KA Parahyangan ditutup, pemerintah malah menawarkan kepada investor swasta untuk menjalankan kereta itu. Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007 memang memperbolehkan investor swasta untuk menjadi operator.
Pertanyaannya, mungkinkah ada investor swasta yang mau menjalankan kereta api di tengah kebijakan-kebijakan yang lebih ramah bagi kendaraan pribadi?
Belum lagi ada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 219 Tahun 2010, yang intinya ”menyerahkan” prasarana (rel, stasiun, fasilitas operasi) kepada PT KA.
Maka, jangan-jangan, bila menjalankan KA Parahyangan, investor swasta selalu ”dikalahkan” oleh perjalanan Argo Gede.
Sebagai manusia, bernostalgia mengenang masa lalu, meratapi ditutupnya Parahyangan, memang tidak dilarang. Apalagi, dulu, antrean panjang di loket KA Parahyangan menjadi pemandangan setiap akhir pekan.

Sangat boleh jadi, jika Tol Cikampek-Palimanan selesai, KA Argo Jati Jakarta-Cirebon akan ditutup. Demikian juga jika Tol Ciawi-Sukabumi selesai, KA Bogor-Sukabumi pun mungkin ditutup.

Salah satu kiprah MPKAS (Masyarakat Peduli Kereta Api Sumbar) yang unik dan patut diberi acungan jempol adalah kisah kerjasama mereka dengan PT KAI  dalam proses  ”pemulangan” lok uap E1060 buatan tahu 1966 yang berhasil diminta dan dibawa pulang dari Ambarawa dan dibawa kembali ke Sumatera Barat, ke tempat asal dia bertugas dulu.
Lok ini menempuh perjalanan panjang dibawa dengan trailer dari Ambarawa, meliwati jalan pantura, jalan tol Jakarta Cikampek, masuk ke tol kota Jakarta, naik kapal pengangkut ke Teluk Bayur, dan dibawa lagi dengan trailer ke Muara Kelaban. Di Muara Kelaban dia baru dipindahkan ke rel, dan menempuh perjalanan ke Sawahlunto yang dulu sudah sering dia lintasi.
Ini suatu prestasi yang dilandasi dengan kerja keras dan sungguh-sungguh dari para penggiat MPKAS. Lok ini diniatkan untuk menjadi ikon wisata kereta api Sumbar nantinya. Dia akan didandani,  baik eksterior, interior  ataupun jeroannya karena akan digunakan secara terbatas sesuai dengan sisa kemampuannya. Dikhabarkan bahwa dia akan melayani wisata kereta api Sawahlunto-Silungkang saja.
Dia dinobatkan dengan nama panggilan Mak Itam. Ini adalah nama nostalgia. Zaman dulu (jadul) kalau ada orang yang badannya pegal-pegal akan disarankan temannya untuk berurut (pijet bahasa di Jawanya) ke tukang urut terkenal “Mak Itam”. Kata si teman kalau berurut ke Mak Itam semua pegal-pegal pasti hilang. Ya, pasti hilang bersama hilangnya nyawa yang dipijat yang berbaring di rel yang akan dilaluinya nya. Ini lelucon kuno “jadul” yang tentunya tidak akan dimengerti oleh generasi masa kini.
Tapi ada lagi kisah nostalgia yang lain kalau melihat kereta api yang ditarik lok uap mendaki di lembah Anai dengan jalan yang berkelok-kelok itu . Lok uap yang ngos-ngosan menarik rangkaian gerbong itu mengeluarkan bunyi peluitnya yang sangat khas. Sekali-sekali di awal belokan peluitnya akan melengking mengingatkan orang yang kemungkinan berjalan diatas rel dimukanyanya dibalik tikungan yang tentunya tidak tampak oleh sang masinis.
Anak-anak zaman dulu sangat hapal dengan bunyi yang khas dan terkait dengan beban kehidupan ini. Bagi yang tua-tua tentu ingat bunyinya. Yang muda ingin tahu ? Bunyi Mak Itam dan teman-temannya dulu itu disertai lengkingan peluitnya kalau masuk ke belokan adalah seperti ini : ” Shuuu…shah, shuuu..shah……, shuuu..shah……, shuuu..shah……, cari duit, duiiiiiiiiiiiiiit………”
Yah, ternyata dari zaman penjajahan sampai sekarang kondisi ekonomi masyarakat sama saja : alangkah susahnya mencari duit sebagaimana akan diingatkan kembali oleh Mak Itam nanti. Nggak percaya ? Tunggu saja nanti Mak Itam berjalan terseok seok diatas rel bergigi sewaktu masuk ke jalan yang berbelok.
Dengan “hidup kembali”nya Mak Itam, jokes ini pasti akan hidup pula kembali, termasuk tentang Mak Itam yang tukang urut tadi. Ini namanya “revitalisasi” jokes.[eb]

Kereta api ekonomi adalah kelas kereta penumpang dibawah kelas bisnis. Sama halnya dengan kereta kelas bisnis, kereta ini tidak dilengkapi dengan Air Conditioner (AC). Satu gerbong kereta penumpang ekonomi berkapasitas 106 orang. Kereta ini menjadi idaman para penumpang pasa saat hari raya ataupun hari libur. Walapupun dalam setiap perjalanan, kereta ini harus berhenti untuk mengalah dengan kereta api kelas atasnya. Harga tiket kereta kelas ekonomi pun sangat terjangkau.
Format penomoran untuk kereta kelas ekonomi yaitu K3 - xx (tahun pembuatan) x (jenis bogie) xx (nomor urut). Misalnya : K3 07525 artinya gerbong kelas 3 (ekonomi) yang mulai dinas tahun 2007 dengan jenis bogie '5' urutan ke 25 ditambah abjad yang artinya kereta itu milik dipo tersebut. Misalnya K3 07525 SMC, artinya kereta itu milik dipo Semarang Poncol.

Pada tanggal 21 Mei 1997 dioperasikan pertama kalinya KA Sancaka untuk pemerjalan koridor Yogyakarta – Surabaya. Perjalanan sejauh 311 Km dari Yogyakarta – Surabaya ditempuh dalam waktu kurang dari 5 jam.

 
  




Rangkaian KA Sancaka memiliki kapasitas sebanyak 496 tempat duduk dan menawarkan layanan untuk pemerjalan kelas eksekutif dan bisnis. Sancaka diambil dari nama seekor ular naga sakti yang siap melindungi.


Guna memenuhi permintaan pelanggan sejak tanggal 1 Desember 2002 diluncurkan KA Sancaka II yang menawarkan alternative perjalanan pada pagi hari dari Yogyakarta – Surabaya dan sore atau malam hari dari arah sebaliknya (berkebalikan dengan perjalanan yang ditawarkan oleh Sancaka I.

Peluncuran perdana KA Argo Jati dilaksanakan pada tanggal 12 April 2007 yang merupakan hasil improvisasi/peningkatan dari KA Cirebon Ekspress Utama Yang diresmikan tanggal 13 mei 2005, sebagai cikal bakalnya KA Argo Jati.
Peluncuran perdana KA Argo Jati dilaksanakan pada tanggal 12 April 2007 yang merupakan hasil improvisasi/peningkatan dari KA Cirebon Ekspress Utama Yang diresmikan tanggal 13 mei 2005, sebagai cikal bakalnya KA Argo Jati.
 
   
Animo masyarakat kota Cirebon dan sekitarnya terhadap layanan kereta api kelas eksekutif yang semakin meningkat, sehingga PT Kereta Api berupaya Meningkatkan Layanan Koridor Cirebon – Jakarta dengan Kereta Api Sekelas Argo

Dengan pola operasi 2 kali pp diawali pemberangkatan awal dari Cirebon di pagi hari kembali dan berangkat  lagi ke Jakarta pada siang harinya. Rangkaian KA argo jati sebanyak 8 kereta kelas eksekutif mempunhyai kapasitas angkutan untuk 400 penumpang.

Sindoro  adalah nama gunung dengan ketinggian 3.150 m dpl, yang terletak dibatas kabupaten Temanggung sebelah barat dan sebelah timur dari wonosobo. Gunung bertipr strato ini juga dikenal dengan sebutan sindoro atau sendoro, mempunyai beberapa kawah diantaranya kawah puncak : segoro wedi, segoro banjaran, kawah utara dan selatan.


 
 
Perjalanan sejauh 445 km ditempuh dalam waktu 5 jam 30 menit dan hanya berhenti di stasiun tegal dan pekalongan.

Layanan kereta api yang memiliki kapasitas 350 tempat duduk ini terdiri dari 7 rangkaian kereta kelas eksekutif. Untuk perjalanan yang dilakukan pada siang hari, penumpang dapat menikmati indahnya panorama dipesisir pantai utara khususnya antara pekalongan dan semarang.

KA Argo Wilis dioperasikan pertama kalinya pada tanggal 8 November 1998. Perjalanan sejauh 699 km ditempuh dalam waktu 11 jam dan selama dalam perjalanan hanya berhenti di Stasiun Tasikmalaya, Kutoarho, Yogyakarata, Solo Balapan dan Madiun. Kereta api ini merupakan salah satu layanan eksekutif unggulan yang menghubungkan antara Kota Bandung dengan Kota Surabaya.

 
  




Kata Argo digunakan sebagai brand image layanan kereta api eksekutif. Kata Wilis diambil dari nama Gunung Wilis yang memiliki ketinggian 2.169 m dari permukaan laut dan merupakan tataran pegunungan yang panjang dengan puncak tertingginya berada di kawasan Bajulan Nganjuk, Jawa Timur.


KA Argo Wilis dengan kapasitas angkut 200 seat (4 rangkaian kereta kelas eksekutif) menawarkan alternative perjalanan pada siang hari yang memungkinkan pemerjalan menikmati indahnya panorama pegunungan di Bumi Parahyangan, Banyumas, Kali Serayu dan Kali Progo.


Selama ini Argo Wilis sering dipakai sebagai moda transportasi penghubung dari Bandung ke obyek wisata yang ada di Pulau Bali dan sebaliknya. Setibanya di Surabaya biasanya penumpang transit di VIP Room Stasiun Surabaya Gubeng untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Banyuwangi dengan KA Mutiara Timur Malam dan sampai di Banyuwangi pada pagi hari. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan bus PT.Kereta Api (Persero) menuju Denpasar Bali. Demikian juga sebaliknya, berangkat dari Banyuwangi dengan menggunakan KA Mutiara Timur Malam untuk sampai di Surabaya Gubeng, kemudian transit di VIP Room Stasiun Surabaya Gubeng dan meneruskan perjalanan menuju Madiun, Solo, Yogyakarta, Kutoarjo, Tasikmalaya ataupun Bandung dengan menggunakan KA Argo Wilis.


Jika ingin berwisata dalam satu paket dari Bandung ke Yogyakarta, Solo, Surabaya ataupun Denpasar begitu juga sebaliknya, disarankan untuk menggunakan KA Argo Wilis

Pertama kali diresmikan oleh Mentri Perhubungan RI pada tanggal 21 April 1998 menggunakan nama KA Dwipangga. Akan tetapi seiring dengan tuntutan pelanggan yang menginginkan penambahan KA Argo koridor Jakarta-Solo, maka KA Dwipangga sengaja di re-design untuk layanan sekelas KA Argo sehingga brand-nya pun diganti menjadi KA Argo Dwipangga pada tanggal 5 Oktober 1998.

 
 



Kata Argo digunakan sebagai brand image layanan kereta api eksekutif dan penamaan Dwipangga memang sengaja dibedakan dengan argo lainnya yang lazim menggunakan nama gunung mengingat nama Dwipangga dirasakan sudah sangat melekat di benak pelanggan. Kata Dwipangga diambil dari sebutan kendaraan Dewa Indra berupa gajah yang setia dan mampu melindungi pengendaranya dalam segala cuaca, sehingga menumbuhkan kebanggaan dan prestise bagi penumpangnya.


Perjalanan sejauh 576 km ditempuh dalam waktu sekitar 8 jam dan hanya berhenti di Stasiun Purwokerto dan Yogyakarta.


Argo Dwipangga dengan kapasitas 400 seat dan membawa 8 rangkaian kereta kelas eksekutif menawarkan alternative perjalanan pada siang hari dari Stasiun Gambir ke Solo Balapan dan perjalanan pada malam hari dari arah sebaliknya (berkebalikan dengan alternative perjalanan yang ditawarkan oleh KA Argo Lawu) .

Argo Bromo Anggrek adalah nama kereta api yang dioperasikan oleh PT Kereta Api di Jawa dengan jurusan Jakarta (Gambir) - Surabaya (Pasarturi) melewati jalur utara.
Kereta api ini mulai dioperasikan pada tanggal 24 September 1997. Produk ini merupakan pengembangan (merek derivatif) dari KA Argo Bromo Anggrek JS-950 yang diresmikan pertama kali perjalanannya oleh Presiden RI pada tanggal 31 Juli 1995 menandai Hari Teknologi Nasional, 12 Agustus 1995.
Nama Bromo diambil dari nama salah satu gunung yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Panorama wisata Gunung Bromo yang memiliki ketinggian 2.392 m ini selain menyimpan makna ritual kultural dan religius juga menyajikan keindahan kawah dan keasrian alam lingkungannya yang membuat kawasan Gunung Bromo menjadi sangat terkenal dan menjadi salah satu tujuan wisata utama turis domestik maupun mancanegara. Sebutan Anggrek digunakan untuk menandai adanya derivatif merek dari produk sebelumnya, sehingga warna eksterior kereta tersebut disesuaikan dengan panduan warna setangkai bunga anggrek.
Perjalanan Gambir - Surabaya Pasarturi sejauh 725 km melalui lintas Utara ditempuh dalam waktu 9 jam. KA Argo Bromo Anggrek dengan kapasitas 400 kursi terdiri atas 8 rangkaian kereta kelas eksekutif dan dalam perjalanannya hanya berhenti di Stasiun Pekalongan dan Semarang Tawang.
KA Argo Bromo Anggrek menyediakan saranan hiburan selama dalam perjalanan berupa tayangan audio/video show (Show On Rail). Selain saranan hiburan penumpang dapat juga memesan makanan dan minuman sesuai dengan menu pilihan yang disediakan dan bisa dinikmati baik di tempat duduk masing-masing maupun di kereta restorasi.

Argo Bromo Anggrek adalah nama kereta api yang dioperasikan oleh PT Kereta Api di Jawa dengan jurusan Jakarta (Gambir) - Surabaya (Pasarturi) melewati jalur utara.
Kereta api ini mulai dioperasikan pada tanggal 24 September 1997. Produk ini merupakan pengembangan (merek derivatif) dari KA Argo Bromo Anggrek JS-950 yang diresmikan pertama kali perjalanannya oleh Presiden RI pada tanggal 31 Juli 1995 menandai Hari Teknologi Nasional, 12 Agustus 1995.
Nama Bromo diambil dari nama salah satu gunung yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Panorama wisata Gunung Bromo yang memiliki ketinggian 2.392 m ini selain menyimpan makna ritual kultural dan religius juga menyajikan keindahan kawah dan keasrian alam lingkungannya yang membuat kawasan Gunung Bromo menjadi sangat terkenal dan menjadi salah satu tujuan wisata utama turis domestik maupun mancanegara. Sebutan Anggrek digunakan untuk menandai adanya derivatif merek dari produk sebelumnya, sehingga warna eksterior kereta tersebut disesuaikan dengan panduan warna setangkai bunga anggrek.
Perjalanan Gambir - Surabaya Pasarturi sejauh 725 km melalui lintas Utara ditempuh dalam waktu 9 jam. KA Argo Bromo Anggrek dengan kapasitas 400 kursi terdiri atas 8 rangkaian kereta kelas eksekutif dan dalam perjalanannya hanya berhenti di Stasiun Pekalongan dan Semarang Tawang.


KA Argo Bromo Anggrek menyediakan saranan hiburan selama dalam perjalanan berupa tayangan audio/video show (Show On Rail). Selain saranan hiburan penumpang dapat juga memesan makanan dan minuman sesuai dengan menu pilihan yang disediakan dan bisa dinikmati baik di tempat duduk masing-masing maupun di kereta restorasi.

Sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen, Jumat tanggal 17 Juni 1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867.



Kereta listrik pertama beroperasi 1925, menghubungkan Weltevreden dengan Tandjoengpriok.
Keberhasilan swasta, NV. NISM membangun jalan KA antara Samarang-Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 Km), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA di daerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 km, tahun 1870 menjadi 110 km, tahun 1880 mencapai 405 km, tahun 1890 menjadi 1.427 km dan pada